Photobucket Photobucket

Sabtu, 28 Mei 2011

Mengenang 5 Tahun Gempa Yogyakarta 2006


Lima tahun yang lalu tepatnya Sabtu Wage 27 Mei 2006, Yogyakarta diguncang gempa yang dahsyat dengan kekuatan 5,9 SR dan berpusat di daratan Bantul dengan kedalaman sekitar 33 kilometer. Goncangan gempa hanya berlangsung sekitar 52 detik, namun demikian akibat yang ditimbulkan begitu parah. Hampir semua bangunan rumah hancur dan rata dengan tanah, sementara ada ribuan korban jiwa, ternak dan sebagainya.Berikut saya akan mencoba menceritakan apa yang saya dan keluarga saya alami.

Jum’at pagi, 26 Mei 2006, saya pamit kepada istri, meninggalkan rumah kami di Bantul untuk pergi ke Yogyakarta memperpanjang sepeda gunung yang saya gadaikan di pegadaian Ngupasan Yogyakarta. Sepeda gunung sudah jatuh tempo hari itu. Karena saya belum berkeinginan untuk mengambilnya, maka saya mengurus perpanjangan.

Sesampai di kantor pegadaian saya tersentak, ternyata kantor tutup ! Tidak biasanya kantor tutup di hari Jum’at karena waktu itu juga bukan hari libur. Salah seorang penjaga kantor pegadaian mengatakan jika kantor akan dibuka kembali pada hari Senin, 29 Mei 2006. Dengan berat hati akhirnya saya meninggalkan kantor pegadaian dan langsung menuju Prawirotaman, tempat biasa saya mangkal dengan becak mencari penumpang.

Saat itu hampir semua hotel penuh dengan tamu-tamu yang menginap. Pada umumnya mereka adalah rombongan wisatawan domesti, baik yang menggunakan bis pariwisata maupun mobil pribadi. malam seperti inilah yang selalu ditunggu oleh para tukang becak dan pekerja wisata lain di Yogyakarta. Demikian juga saya, sayang sekali bila saya melewatkan kesempatan ini untuk pulang ke rumah. Oleh karena itu peluang ini tidak saya sia-siakan untuk bekerja narik becak karena tentunya akan banyak orang yang membutuhkan jasa becak.

Benar juga, saya banyak mendapat penumpang dan saya narik hingga larut malam. Seperti biasanya saya berangkat ke kota dengan naik kendaraan umum. dan karena sudah larut malam, maka saya tidak bisa pulang. Sudah tidak ada lagi kendaraan umum yang beroperasi. Kemudian saya memilih untuk tidur bersama teman-teman di tempat biasa mangkal, dan esok harinya baru bisa pulang ke rumah.

Saya tidur dengan nyenyak, barangkali karena sudah capek dan merasa tenteram karena mendapatkan uang yang banyak. Tak ada firasat apapun juga hingga pagi hari saat saya terbangun sekitar jam 5 pagi. saya menuju kran air untuk gosok gigi dan sekedar cuci muka. Setelah itu saya ambil becak untuk ditempatkan di tempat yang aman karena saya akan pulang ke rumah.

Tiba-tiba saya dikagetkan guncangan yang sangat dahsyat. Semua tamu hotel keluar lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Tidak sedikit yang berlumuran darah kejatuhan bahan bangunan hotel yang hancur berantakan. Waktu itu saya langsung berpelukan dengan penjual soto ayam. Orang-orang berguling jatuh di jalan karena guncangan gempa yang dahsyat.

Tak lama setelah gempa reda dan berhenti, seorang teman yang bekerja di kantor tourist information minta diantar ke rumahnya. Saya masih tak punya firasat apapun dengan keluarga saya dan tetap bersedia mengantar teman tersebut. Selesai mengantar teman ke rumahnya, saya kembali ke pangkalan dan memarkir becak di tempat yang aman. Perasaan saya mulai tidak karuan, karena ada informasi bahwa kerusakan akibat gempa paling parah di Bantul.

Saya menunggu bis untuk di jalan Parangtritis dekat pangkalan untuk segera pulang ke rumah. Ternyata saya harus menunggu lama karena kebanyakan bis tidak beroperasi akibat gempa itu. Setelah agak lama, akhirnya saya berhasil mendapatkan bis juga. dan sayapun bergegas menyetopnya kemudian naik ke dalam bis tersebut.

Di sepanjang perjalanan saya melihat banyak rumah serta bangunan hancur roboh. Semakin ke Selatan mendekati kampung saya, kerusakan semakin parah. Hati dan pikiran saya semakin tak tenang, bagaimana nasib istri dan anak saya Agnes yang masih berumur 5 bulan ? Saya semakin panik dan hanya bisa berdoa, ya Tuhan selamatkan istri dan anak hamba.

Akhirnya bis berhenti di tempat biasa saya menitipkan sepeda. Ternyata rumah tempat penitipan sepeda juga hancur berantakan. saya segera mencoba masuk untuk mencari dan mengambil sepeda. Beruntunglah sepeda saya aman karena berada di tempat yang tidak tertimpa bangunan rumah yang hancur. Setelah mengeluarkan sepeda, bergegas saya mengayuh sepeda menuju rumah yang berjarak sekitar 1 km.

Sebelum sampai kampung, saya harus melewati bulak persawahan. Begitu sampai di bulak persawahan, ya ampun saya melihat kampung saya hanya tinggal pepohonan. Tidak satu rumahpun yang masih utuh berdiri. Hati dan pikiran makin panik memikirkan nasib Agnes anak saya yang masih berusia 5 bulan. bagaimana dengan Agnes, bagaimana juga dengan istri saya ?

Memasuki wilayah kampung saya, seorang tetangga mengatakan kalau Agnes selamat, namun demikian istri saya belum diketemukan. Sampai di rumah, saya semakin lemas. Rumah hancur dan rata dengan tanah. Saya mencoba untuk mencari di mana istri saya berada. Namun demikian karena rumah cukup besar terasa susah juga untuk menemukan istri saya dan tidak sanggup membongkar reruntuhan rumah sendirian.

Kemudian saya meninggalkan rumah untuk mencari keberadaan Agnes yang katanya dirawat mertua dari adik ipar saya. Begitu sampai di tempat, saya melihat Agnes digendong, langsung Agnes saya datangi. Agnes saya peluk dan ciumi sambil menangis. Baru saja Agnes berada dalam gendongan saya, tiba-tiba di sebelah timur kampung ada suara gemuruh. Orang spontan berteriak.. tsunami…tsunami…!! Semua orangpun lari tunggang langgang menjauhi arah pantai dan menuju ke arah kota. Sambil menggendong Agnes saya kayuh sepeda dengan kencang.

Sesampai di perawahan, seorang tetangga yang kebetulan seorang polisi langsung meminta kami tidak panik. Polisi tersebut baru saja berkomunikasi dengan sesama polisi yang berada di dekat pantai, ternyata tidak ada tsunami. Akhirnya semua orang berhenti dan berkumpul di persawahan. Di persawahan saya bertemu dan berkumpul dengan beberapa kerabat saya. saya menitipkan Agnes dan kembali mencoba mencari keberadaan istri yang belum ditemukan. Sesekali guncangan gempa susulan yang cukup besar masih masih terjadi, namun saya mencoba memberanikan diri masuk ke area rumah yang sebagian tembok masih berdiri meski tidak utuh lagi. ternyata usaha saya sia-sia dan gagal tidak berhasil menemukan istri saya. saya berkeliling kampung untuk meminta bantuan orang yang saya temui untuk mencari istri saya. Namun demikian saya lihat semua orang menangis, berlumuran darah, menahan sakit, sehingga membuat saya tidak sampai hati meminta bantuannya.

Saya seperti orang gila berkeliling kampung mencoba untuk mencari bantuan. Sampai akhirnya saya bertemu dengan tiga orang tetangga yang bersedia membantu mencari istri saya. Kami berempat membongkar reruntuhan rumah satu persatu. Setelah agak lama akhirnya istri saya berhasil ditemukan. Istri saya berada di bawah almari yang roboh. Pada bagian atas almari terganjal bongkahan tembok dan membentuk sudut 60 derajat. Istri berada di bagian bawah almari yang berongga dan terlihat sebatas leher ke atas, sementara bagian lain tertimbun reruntuhan bangunan.

Kami berempat berusaha mengeluarkan istri saya, almari dipindah dan membongkar reruntuhan yang menimbun istri saya. setelah berhasil dikeluarkan, ternyata istri saya tidak terluka, hanya lecet di bagian jari kaki saaja. Namun mengapa istri saya tidak bergerak, tidak bernafas lagi ? Saya mencoba menggerak-gerakan badannya dan memegang nadinya. Ya Tuhan, ternyata istri saya sudah tidak bernyawa lagi… Saya langsung menangis histeris. Dalam kesedihan dan kekalutan saya menyalahkan diri sendiri. mengapa saya tidak di rumah, mengapa saya tidak langsung pulang saja dan tidak usah bekerja di malam hari…mengapa…mengapa… Kalau saya di rumah pasti istri bisa tertolong dan tidak kehabisan nafas seperti ini.

Saya mulai bisa mengendalikan diri setelah melihat Agnes. Semua memang sudah kehendakNya, bukan karena saya. Kalau karena saya, tentunya Agnes juga tidak selamat. Agnes ditemukan di atas reruntuhan dalam keadaan masih telanjang namun mulus tidak ada luka gores sedikitpun juga. Puji Tuhan… ini benar-benar Mukjizat Tuhan yang maha Besar dan Maha Kuasa. Sejak saat itu saya hidup membesarkan dan mendidik ketiga anak sendirian. Selamat jalan Anastasia, beristirahatlah dalam damai di Surga…..


http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/05/25/mengenang-5-tahun-gempa-yogyakarta-2006/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar